Wednesday 30 April 2014

Here We Go: Mangunan, Kebun di Atas Awan

Oke, ini kisah perjalanan pertama gue. Mungkin bukan perjalanan pertama sih, gue lupa mana yang duluan, tapi ini catatan perjalanan gue yang pertama. Tapi sebenarnya juga bukan perjalanan. Trus apa dong? ko jadi geje gini. 
Ah, anggap saja perjalanan. Gue pengen cerita aja tentang tempat ini, tempat yang, beautifull, Subhanallah lah.


Gue inget waktu gue ngepost foto ini di medsos tetangga, ada temen gue yang nanya "Does the place exist?"
Ya eyalah, masa gue ngedit pake photo shop, trus di pajang jadi PP, ngga keren banget. 
Yes, its in my country, Indonesia.
Tepatnya di Desa Mangunan, Kecamatan Dlingo, Bantul, Yogyakarta. 

Jadi ceritanya, gue kesini rame-rame gitu sama temen-temen FLP (Forum Lingkar Pena), nginep gitu. Nah, pas pagi-pagi akhirnya gue, dan temen gue yang super baik berhasil mengabadikan kemegahananya. Subhanallah. Kayak di puncak gunung gitu. Gue di atas awan, meski sebenarnya itu cuma kabut. And, its the complete story..


28 Februari 2014
Motor Ambar berhenti di depanku. Aku menyapanya dengan senyum. Ada perasaan tak enak sebenarnya karena ia hanya datang untuk mengantarkanku. Jika tempat itu dekat mungkin tidak apa-apa, namun tempat yang kami tuju cukup jauh. Namun keinginan yang menggebu untuk mengunjungi tempat itu mengalahkan perasaan yang mengganjal. Suatu hari aku akan mengucapkan banyak-banyak terimakasih padanya.
Motor melaju membelah jalanan Yogyakarta menuju selatan. Pelan-pelan saja, karena kami memang tidak terburu-buru. Apalagi jalanan Yogyakarta yang bagiku teramat ramah. Tidak ada macet, dan udara yang tidak terlalu tercemar meski hari itu cukup panas meski sore telah menjelang. Hari yang cerah. Setelah melewati ring road selatan, perjalanan sedikit menanjak. Jalan pun mulai berkelok dan kami dapat melihat sebuah petunjuk jalan tujuan kami. Kebun Buah Imogiri. Papan itu cukup menjadi pemandu kami yang sebelumnya tak pernah sekalipun kesana. 
Motor mulai meraung. Meski sudah menyisakan dua untuk gigi motor, namun nampaknya motor masih kesusahan. hingga akhirnya hampir saja motor mundur kebelakang. Motor Ambar tak kuat menerjang tanjakan. Rem dengan gesit di tekan, dan aku terpaksa turun dari motor dan berjalan, membiarkan Ambar mengendarai motornya menuju tempat yang cukup landai. 
Ternyata tak hanya sekali. Dua sampai tiga kali aku harus merelakan kaki melangkah menanjaki jalan yang terbentang dengan kemiringan lebih dari 25 derajat. Tak apa, batinku. Apa yang menanti di sana pasti lebih indah.
Akhirnya Ambar berhasil menjinakan motornya. Meski dengan suara yang begitu memekakan telinga namun motor itu melaju dengan mulus. Bising motor terkalahkan pemandangan di kiri dan kanan jalan yang menakjubkan. Pemandangan kota Yogyakarta dari ketinggian. Rumah yang nampak kecil, jalan-jalan yang nampak berkelok, manusia yang nampak tak ada apa-apanya. Indonesia punya ratusan atau mungkin jutaan tempat seperti ini, dan itu luar biasa. 
Namun masalah belum selesai. Masalah motor selesai, dan masalah yang lain muncul. Kami tak tau kemana arah yang benar untuk menuju ke tempat itu. Akhirnya kami berhenti di tengah perjalanan, mencoba bertanya pada seorang penduduk. 
Seorang bocah tanggung, mungkin berusia tiga belas atau empat belas tahun, menunjukan arah perjalanan kami selanjutnya. Kami pun melanjutkan perjalanan dengan tenang, namun setelah beberapa saat, kami mulai dilingkupi gelisah. Apakah kami benar dalam mengambil jalan?
Akhirnya kami berhenti lagi, mencoba untuk kembali bertanya pada seorang ibu-ibu yang tengah menyapu halaman. Belum sempat kami bertanya, sebuah motor berhenti di samping kami. ternyata Mas Solli dan Mas Taufik. Dua tetua FLP Yogyakarta yang memiliki tujuan yang sama dengan kami.
Perasaan lega menyelimuti. Akhirnya kami punya teman perjalanan yang kami harap dapat memandu kami. Namun ternyata kami salah, ternyata mereka juga tidak tahu jalan, padahal mereka sudah ke tempat itu sebelumnya. ~_~
Setelah bertanya kepada penduduk, ternyata kami kesasar. Akhirnya kami putar balik. Motor ambar pun meraung lagi karena jalan yang kami lewati cukup menanjak (sabar ya Tor).
Tak lama berselang, sampailah kami di tempat tujuan, dan pohon-pohon rambutan yang berbuah menyapa kami dengan warna yang menggiurkan. Hati ini pun bertanya, bolehkah aku memetiknya. Namun aku harus menelan kekecewaan karena rambutan itu di larang di petik, bahkan seorang dari kami yang iseng memetik di tegur petugas kebun. Its oke. aku akan puas dengan memandang mereka. Benar, itu tidak apa-apa.
Dan bla-blla-bla. Acara up garding di mulai. Selesai sampai pukul sebelas malam dan kami tidur dengan nyenyak.

1 Maret 2014
Tubuhku tanpa sadar menggeliat. Ternyata pagi telah menyapa. Beberapa peserta Up Grading telah terbangun dan mulai bermesraan dengan sang Khaliq dalam sujud tahajud. Aku memaksa tubuhku merasai dinginnya  air pegunungan pagi. Merasakan bulu kuduk yang berdiri karena dinginnya, dan merasai kantuk yang buyar seketika.


Setelah sholat Subuh, peserta upgrading di iring menuju puncak bukit. Jalan yang sedikit menanjak dengan di temani rimbunnya semak dan cuaca yang masih redup karena matahari belum keluar dari singgasananya, perjalanan menuju bukit itu cukup melelahkan. Apalagi kaki yang sudah lama pensiun dari urusan daki mendaki. Rasanya sudah seperti nenek-nenek yang tulangnya sudah mulai keropos. Nafas pun terengah, keringat mengalir. Beberapa kali aku berhenti untuk mengambil nafas, dan amengistirahatkan kaki yang pegal. Nampaknya memang aku sudah terlalu lama pensiun. Mungkin sudah dua tahun sejak aku mendaki gunung, hingga bahkan hanya untuk mendaki bukit saja aku kewalahan.
Namun semua itu menguap ketika dari sela-sela dedaun ku lihat warna jingga di kejauhan. Ada semburat cahaya yang membuatku takjub. Bingkai jingga, begitu aku menyebutnya setiap kali cahaya matahari menyapa awan-awan.
Yeayyy... hatiku berteriak girang. Akhirnya aku sampai di salah satu puncak bukit. Aku sejenak melepas penat di salah satu gardu yang disediakan pengembang kebun, namun tak bertahan lama karena akhirnya aku menyadari bahwa di depanku telah terbentang sebuah pemandangan yang luar biasa di.


Kebun Buah Mangunan
Pemandangan atas Kebesaran Yang Maha Kuasa. Salah satu ciptaanNya mampu membiusku dengan sempuran. Seperti berada di atas awan. Aku menghampiri tempat itu dengan segera. Berfikir, mungkin aku bisa memegang awan itu, memasukannya ke dalam saku dan membawanya pulang. :D


Tentu tak puas jika hanya melihat, semua itu, gambar itu, aku abadikan dalam potret berwarna.
Inilah sebuah negri yang kaya raya. Satu titik tempat saja mampu membius pengunjungnya, apalagi belahan nusantara yang lain, berjuta-juta tempat indah telah tertata dengan rapi. Julukan tanah yang jatuh dari surga mungkin ada benarnya juga, meski memang tak akan bisa menyaingi surga, namun keindahan yang luar biasa bagi yang belum pernah merasakan surga cukuplah di ekspresikan dengan kata itu.
Inilah Indonesiaku. Harta karun yang tiada terkira.
Matahari, awan, dan pemandangan dari ketinggian adalah paduan yang luar biasa.  Jadi teringat film doraemon, Negeri di Atas Awan. Mungkin settingnya seperti ini.
Cukup bersenang-senang dengan keindahan puncak bukit, kami harus kembali turun, melewati jalan yang sama ditemani semak belukar dan suara burung yang ramai berkicau. 
Di sisi sebuah jalan menuju pulang, aku menemukan sesuatu yang indah tergeletak manis di tanah. Bunga-bunga yang berguguran yang menempel pada badan jalan yang terbuat dari semen. Seperti sesuatu yang sengaja di tata. Memang sengaja, Allah yang membuatnya. Guguran bunga mungil berwarna putih itu cukup indah, membuat mata berbinar. 
Ternyata keindahan itu pun bisa sangat sederhana. Dari bunga liar yang berguguran dan lantai yang sering terinjak, berdebu dan terabaikan dapat menghasilkan potret yang unik.
Disela-sela perjalanan, tak lupa aku pun menyapa semut-semut yang memulai aktivitas paginya. Mereka telah rapi berbaris, menuju suatu tempat yang mungkin memiliki banyak cadangan makanan untuk mereka kumpulkan.












Setelah puas bersapa ria dengan semut, acara up grading pun dilanjutkan hingga keesokan harinya. Menyenangkan, ditemani udara yang sejuk dan hari yang cerah. 

Berbicara tentang kebun buah mangunan, ternyata pengunjung kebun buah itu tidak hanya kami. Banyak sekali pengunjung hari itu. Makhlum hari itu adalah hari minggu. Mulai dari pasangan muda mudi, keluarga hingga kelompok organisasi seperti kami. Jadi kebun buah ini menjadi destinasi wisata yang menjanjikan sebenarnya. 
Kebun buah ini sudah cukup tertata dengan fasilitas yang memadai. Mulai dari pendopo, kamar kecil, hingga warung. Pohon buahnya pun cukup bervariasi, meski sebagian besar kebun ditumbuhi rambutan, namun dapat terlihat pula pohon jambu biji, pepaya, pisang, dan buah yang lain. Di kebun buah ini juga terdapat tempat yang nampak seperti lab percobaan. Mungkin digunakan sebagai media edukasi untuk pengunjung. Namun sayangnya banyak semak yang dibiarkan tumbuh disekitar pohon dan banyak bangunan tempat menumbuhkan tanaman terbengkalai dibiarkan begitu saja. Namun yang membuatku sedikit tak puas adalah kami dilarang memetik buah. Mungkin sedikit aneh kalau kita datang ke kebun buah namun kita tak bisa memetik buah yang bergelantungan di pohonnya. :D
Yah, semoga saja dikemudian hari kebun buah ini menjadi tujuan wisata yang menarik minat para pelancong, sehingga perbaikan di beberapa aspek pun dapat lebih diperhatikan. Sayang jika pemandangan di bukit dan bua-buah yang bergelantungan dibiarkan begitu saja.


Other picture...






Peta bisa di lihat di 

0 comments:

Post a Comment